Posted by : Unknown
KONTROVERSI diubahnya UU Pilkada Langsung menjadi UU Pilkada Tidak Langsung oleh persekongkolan elite oligarki yang berhimpun dalam Koalisi Merah Putih (KMP), terus menggema. Gerakan aksi penolakan lewat media massa, media sosial, dan demonstrasi-demonstrasi jalanan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri oleh berbagai sektor dalam masyarakat, semakin meluas dan berlipatganda.
Aksi-aksi demonstrasi ini menuntut agar UU Pilkada Tidak Langsung itu dibatalkan. Para demonstran ini juga menunjukkan ketidakpercayaan mereka kepada sirkus politik elit, seperti yang diperankan oleh sang maestro sirkus SBY, yang telah mengeluarkan Perpuu untuk membatalkan RUU Pilkada Tidak Langsung. Sampai muntah-muntah dan jungkir balik SBY menyatakan keberpihakan dan komitmennya pada demokrasi, rakyat dan para partisipan aktif yang berdemonstrasi tak bisa lagi dikadali untuk kesekian kalianya. Enough is enough, #ShameOnYouSBY.
Pagelaran sirkus politik elit dan makin maraknya aksi-aksi demonstrasi menentang produk para sirkus itu, semestinya menjadi penanda bahwa antara kepentingan pemilih dan yang dipilih bisa bertolak belakang 180 derajat. Para pemilih (elector) punya kepentingan atau aspirasi A, sementara yang dipilih (elected) memperjuangkan aspirasi B. Kenyataan ini tidak seperti yang sering dikemukakan oleh anggota DPR dari KMP, yang selalu mengatakan bahwa ‘partai itu kan dipilih oleh rakyat, jadi apa yang kami lakukan adalah mewakili kepentingan rakyat.” Ini adalah slogan kosong, silat lidah atau otak-atik-ghatuk.
Pernyataan bahwa kepentingan yang memilih dan dipilih tidak selalu sejalan, sejak ratusan tahun lalu sudah dinyatakan oleh Filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau. Penganjur kebebasan setara (egalitarian liberty) ini mengatakan bahwa dalam struktur masyarakat yang timpang, dimana terdapat segelintir orang kaya (oligarki) di tengah-tengah lautan massa yang miskin, maka mustahil bahwa yang dipilih akan mewakili aspirasi dari yang memilihnya. Dalam Letters Written from the Mountain, Rousseau mengatakan bahwa ‘Si kaya memiliki hukum dalam kantongnya, sementara si miskin lebih memilih roti ketimbang kebebasan.’ Karl Marx yang terinspirasi dari Rousseau lalu menyimpulkan, ‘Perwakilan masyarakat sipil adalah mereka yang tidak memiliki kaitan dengan para pemilihnya, apakah melalui ‘instruksi’ atau ‘komisi.’ Mereka memiliki otoritas sebagai perwakilan kepentingan publik, sementara dalam kenyataannya mereka mewakili kepentingan khusus.’
Inilah ciri utama dari demokrasi elektoral (electoral democracy), tulis ilmuwan sosial Argentina, Atilio Boron. Pada level ini, demikian ujarnya, demokrasi ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antar partai, guna memperebutkan suara pemilih. Level demokrasi ini mengabaikan masalah isi dan semata-mata ditujukan untuk menempatkan para wakil terpilih pada posisi-posisi puncak legislatif dan eksekutif. Di sini, hak politik rakyat untuk membuat keputusan secara langsung dijamin pada setiap periode pemilu saja, sementara keputusan sehari-harinya dibuat oleh lembaga-lembaga perwakilan, kepresidenan, yudikatif, Bank Sentral, dan pasar.
Dari Roesseau kita belajar bahwa perubahan RUU Pilkada Langsung menjadi Pilkada Tidak Langsung ini adalah unjuk gigi oligarki dalam memberangus hak-hak politik rakyat. Sehingga tidak ada cara lain dalam merebut hak politik yang telah dirampas ini, kecuali rakyat sendiri yang berinisiatif dan bergerak untuk merebutnya kembali. Kita bersama pernah melakukan ini pada tahun 1998. Dan kita berhasil menjatuhkan salah satu rezim paling kuat dan buas dalam sejarah dunia modern. Ketika para elite politik saat itu begitu memuja-muja Soeharto, kita bisa meyakinkan rakyat banyak bahwa rezim Orde Baru bisa dikalahkan. Lagi-lagi kita berhasil. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.
Kini sebagian dari elite oligarki pembasuh tangan kotor Soeharto, seperti Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Fadli Zon, dan reformis gadungan seperti Amien Rais cs yang berkumpul di KMP, ingin menunjukkan kembali gigi kotornya. Mereka mengatasnamakan demokrasi yang tak mereka perjuangkan dengan sungguh-sungguh untuk memberangus demokrasi itu sendiri. Mereka yang dulu memberangus hak rakyat, kini dengan pongahnya mengklaim pembela kepentingan rakyat. Pada kondisi ini, pilihan sesungguhnya ada di tangan kita. Menolak Tunduk atau Menyerah Takluk.***
Aksi-aksi demonstrasi ini menuntut agar UU Pilkada Tidak Langsung itu dibatalkan. Para demonstran ini juga menunjukkan ketidakpercayaan mereka kepada sirkus politik elit, seperti yang diperankan oleh sang maestro sirkus SBY, yang telah mengeluarkan Perpuu untuk membatalkan RUU Pilkada Tidak Langsung. Sampai muntah-muntah dan jungkir balik SBY menyatakan keberpihakan dan komitmennya pada demokrasi, rakyat dan para partisipan aktif yang berdemonstrasi tak bisa lagi dikadali untuk kesekian kalianya. Enough is enough, #ShameOnYouSBY.
Pagelaran sirkus politik elit dan makin maraknya aksi-aksi demonstrasi menentang produk para sirkus itu, semestinya menjadi penanda bahwa antara kepentingan pemilih dan yang dipilih bisa bertolak belakang 180 derajat. Para pemilih (elector) punya kepentingan atau aspirasi A, sementara yang dipilih (elected) memperjuangkan aspirasi B. Kenyataan ini tidak seperti yang sering dikemukakan oleh anggota DPR dari KMP, yang selalu mengatakan bahwa ‘partai itu kan dipilih oleh rakyat, jadi apa yang kami lakukan adalah mewakili kepentingan rakyat.” Ini adalah slogan kosong, silat lidah atau otak-atik-ghatuk.
Pernyataan bahwa kepentingan yang memilih dan dipilih tidak selalu sejalan, sejak ratusan tahun lalu sudah dinyatakan oleh Filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau. Penganjur kebebasan setara (egalitarian liberty) ini mengatakan bahwa dalam struktur masyarakat yang timpang, dimana terdapat segelintir orang kaya (oligarki) di tengah-tengah lautan massa yang miskin, maka mustahil bahwa yang dipilih akan mewakili aspirasi dari yang memilihnya. Dalam Letters Written from the Mountain, Rousseau mengatakan bahwa ‘Si kaya memiliki hukum dalam kantongnya, sementara si miskin lebih memilih roti ketimbang kebebasan.’ Karl Marx yang terinspirasi dari Rousseau lalu menyimpulkan, ‘Perwakilan masyarakat sipil adalah mereka yang tidak memiliki kaitan dengan para pemilihnya, apakah melalui ‘instruksi’ atau ‘komisi.’ Mereka memiliki otoritas sebagai perwakilan kepentingan publik, sementara dalam kenyataannya mereka mewakili kepentingan khusus.’
Inilah ciri utama dari demokrasi elektoral (electoral democracy), tulis ilmuwan sosial Argentina, Atilio Boron. Pada level ini, demikian ujarnya, demokrasi ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antar partai, guna memperebutkan suara pemilih. Level demokrasi ini mengabaikan masalah isi dan semata-mata ditujukan untuk menempatkan para wakil terpilih pada posisi-posisi puncak legislatif dan eksekutif. Di sini, hak politik rakyat untuk membuat keputusan secara langsung dijamin pada setiap periode pemilu saja, sementara keputusan sehari-harinya dibuat oleh lembaga-lembaga perwakilan, kepresidenan, yudikatif, Bank Sentral, dan pasar.
Dari Roesseau kita belajar bahwa perubahan RUU Pilkada Langsung menjadi Pilkada Tidak Langsung ini adalah unjuk gigi oligarki dalam memberangus hak-hak politik rakyat. Sehingga tidak ada cara lain dalam merebut hak politik yang telah dirampas ini, kecuali rakyat sendiri yang berinisiatif dan bergerak untuk merebutnya kembali. Kita bersama pernah melakukan ini pada tahun 1998. Dan kita berhasil menjatuhkan salah satu rezim paling kuat dan buas dalam sejarah dunia modern. Ketika para elite politik saat itu begitu memuja-muja Soeharto, kita bisa meyakinkan rakyat banyak bahwa rezim Orde Baru bisa dikalahkan. Lagi-lagi kita berhasil. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.
Kini sebagian dari elite oligarki pembasuh tangan kotor Soeharto, seperti Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Fadli Zon, dan reformis gadungan seperti Amien Rais cs yang berkumpul di KMP, ingin menunjukkan kembali gigi kotornya. Mereka mengatasnamakan demokrasi yang tak mereka perjuangkan dengan sungguh-sungguh untuk memberangus demokrasi itu sendiri. Mereka yang dulu memberangus hak rakyat, kini dengan pongahnya mengklaim pembela kepentingan rakyat. Pada kondisi ini, pilihan sesungguhnya ada di tangan kita. Menolak Tunduk atau Menyerah Takluk.***